Ridwan Kamil Khawatir IKN Hanya Jadi katalog Arsitektur Tanpa Membentuk Peradaban
"(Kegagalan) itu terjadi di Brazilia, itu terjadi di Ibu Kota Myanmar, di mana-mana. (pembangunan fisik) Berusaha menaklukan tanah seluas-luasnya, lupa bahwa manusia itu punya batas-batas psikologis, batas-batas motoris yang harus disusun," paparnya.
"Makanya, sebenarnya saya tidak suka kampus-kampus di Indonesia yang terlalu jauh-jauh bangunannya. Jadi antarbangunan harus naik mobil turun mobil dan sebagainya. Lama-lama karena kebiasaan tidak menciptakan kota dengan ukuran skala yang benar, kita jadi terbiasa menerima budaya bahwa menikmati arsitektur harus naik mobil," lanjut dia.
Pria yang akrab disapa Kang Emil menyebut Kota Dubai memang sukses menawarkan arsitektur modern, indah, dan inovatif tapi tidak memberikan rasa nyaman untuk menjalani kehidupan. Dia menilai, Dubai menjadi contoh bagaimana penataan ruangnya tak mampu menyandingkan kaya dan miskin. Sebaliknya, justru melahirkan ketidakadilan ruang.
Sebagai arsitek dan urban planner, Emil menilai urusan IKN bukan semata-mata memindahkan dan membangun infrastruktur. IKN adalah membangun masa depan.
"Membangun masa depan harus punya identitasnya. Sejarah arsitektur modern kurang lebih mereduksi banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang tentunya bisa harus kita carikan definisi-definisi barunya (di IKN)," ujarnya.
Editor: Dita Angga Rusiana