JAKARTA, iNews.id – Kota Samarinda merupakan ibu kota Kalimantan Timur yang wilayahnya dikelilingi dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dalam sistem perkotaan nasional, Kota Samarinda telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Kota Samarinda juga termasuk ke dalam Kawasan Strategis Nasional KAPET Samarinda, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Balikpapan.
6 Kesultanan yang Ada di Kalimantan Timur, Nomor 3 Terbagi Dua
Dilansir dari laman perkotaan.bpiw.pu.go.id, Kota Samarinda memiliki wilayah seluas 718 km2 dan dialiri oleh Sungai Mahakam yang merupakan sungai terbesar ke-2 di Pulau Kalimantan.
Terdapat 10 kecamatan di Kota Samarinda, yaitu Kecamatan Palaran, Kecamatan Samarinda Ilir, Kecamatan Samarinda Kota, Kecamatan Sambutan, Kecamatan Samarinda Seberang, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Samarinda Utara, dan Kecamatan Sungai Pinang.
Peringatan Dini BMKG, 6 Kabupaten di Kaltim Waspada Hujan Petir
Penduduk Kota Samarinda pada tahun 2016 berjumlah 828.803 jiwa yang terdiri dari 428.155 jiwa penduduk laki-laki dan 400.148 jiwa penduduk perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,93 persen.
Kepadatan penduduk Kota Samarinda mencapai 1.147 jiwa/km2 dengan kecamatan terpadat yaitu Kecamatan Samarinda Ulu sebesar 5.744 jiwa/km2 dan kecamatan dengan kepadatan terendah yaitu Kecamatan Palaran sebesar 267 jiwa/km2.
Daftar Gubernur Kalimantan Timur Pertama Kali hingga Kini, Ada yang Jabat 2 Periode
Sejarah Kota Samarinda
Sebelum dikenalnya nama Samarinda, kawasan ini termasuk dalam Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri pada tahun 1300 M di Kutai Lama, sebuah kawasan di hilir Sungai Mahakam dari arah tenggara Samarinda.

Dikutip dari laman samarindakota.go.id, Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan daerah taklukan (vasal) dari Kerajaan Banjar yang semula bernama Kerajaan Negara Dipa, ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman dengan era Kerajaan Majapahit (abad ke-14-15 M).
Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian berpindah ke Tepian Batu pada tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan (Jembayan) pada tahun 1732, terakhir di Tenggarong sejak tahun 1781 hingga 1960. Penduduk awal yang mendiami Kalimantan bagian timur adalah Suku Kutai Kuno yang disebut Melanti termasuk ras Melayu Muda (Deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras Mongoloid, Melayu, dan Wedoid yang migrasi dari Semenanjung Kra pada abad ke-2 Sebelum Masehi (SM).
Pada abad ke-13 Masehi (tahun 1201–1300), sebelum dikenalnya nama Samarinda, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu, Pulau Atas, Karang Asam, Karamumus (Karang Mumus), Luah Bakung (Loa Bakung), Sembuyutan (Sambutan) dan Mangkupelas (Mangkupalas).
Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M), yang kemudian dikutip oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, C.A. Mees.
Suku Banjar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Keberadaan suku Banjar di Samarinda dan daerah lainnya di Kalimantan Timur tidak dikategorikan sebagai kaum pendatang karena sebelum pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan kecuali daratan Malaysia dan Brunei merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni Kalimantan dengan ibukota Banjarmasin.
Suku Banjar adalah suku asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.
Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) suku Banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari Amuntai di bawah pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) merintis berdirinya Kerajaan Sadurangas (Pasir Balengkong) di daerah Paser. Selanjutnya suku Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.
Awal pemukiman suku Banjar di daerah Kalimantan bagian Timur dimulai sejak Kerajaan Kutai Kartanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada tahun 1546 Masehi. Hal ini dinyatakan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1976.
Sampai pertengahan abad ke-17 (dekade 1650-an), wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk yang pada umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan Karang Asam.
Riwayat kedatangan rombongan Bugis Wajo pertama kali ke Samarinda terdiri atas bermacam-macam versi.
Versi ke-1 dari tim penyusun sejarah Samarinda yang mengadakan seminar pada 21 Agustus 1987 memutuskan, telah terjadi peristiwa kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara pada 21 Januari 1668. Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai hari jadi Samarinda. Latar belakang perantauan orang-orang dari tanah Kesultanan Gowa (Sulawesi Selatan) itu karena menolak Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah dalam perang melawan pasukan Belanda.
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini berdasarkan estimasi/asumsi pelayaran selama 64 hari ditambahkan sejak tanggal 18 November 1667, sehingga diperoleh tanggal 21 Januari 1668.
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini kemudian mendapat legitimasi politis pada saat kepemimpinan Walikota Samarinda Drs. H. Andi Waris Husain dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 tahun 1988 pasal 1 yang berbunyi: "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 Hijriyah".
Raja Kutai saat itu, Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura mengabulkan permintaan tersebut kemudian memberikan lokasi kampung dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan kepada mereka. Kesepakatannya, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.
Asal-Usul Nama Samarinda
Ada beraneka versi mengenai latar belakang terciptanya nama Samarinda. Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di Samarinda Seberang yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain, sehingga disebut “sama-rendah”, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.
Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air.
Terlebih lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya. Guna menanggulangi masalah tersebut, sejak awal 1950-an dilakukan penurapan lalu jalan ditinggikan hingga berkali-kali. Pada tahun 1978 ketinggian total bertambah 2 meter dari permukaan awal sehingga jalan tidak lagi terendam kecuali Mahakam pasang luar biasa.
Versi ketiga berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, yaitu “Samarendo” yang berarti selamat sejahtera.
Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari bahasa Melayu dari kata “samar” dan “indah”.
Sampai menjelang akhir abad ke-20 atau sekitar dekade 1980-an warga masih menyebut Samarinda dengan lafal “Samarenda” (pengucapan huruf “e” seperti pada kata “beta”) walaupun dalam bahasa penulisannya sudah berubah menjadi “Samarinda”.
Demikian penjelasan mengenai Ibu Kota Kalimantan Timur, Sejarah Kota Samarinda dan Asal Usulnya yang bisa menambah wawasan.
Editor: Kastolani Marzuki