“Orang akan mengenal Kukar sebagaimana mereka mengenal Tenggarong. Kota ini warisan budaya, namun harus tumbuh sebagai kota modern yang tetap berpijak pada akar tradisi,” katanya.
Kehadiran Sultan Aji Muhammad Arifin memberi makna tersendiri sebagai simbol penjaga warisan leluhur. Turut hadir pula Wakil Bupati Kukar, Rendi Solihin, yang dengan semangat anak muda menegaskan pentingnya mewariskan tradisi luhur Erau kepada generasi berikutnya agar tidak tergerus zaman.
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji memberikan apresiasi penuh atas pelaksanaan Erau. Menurutnya, festival adat terbesar di Kalimantan Timur ini bukan hanya kebanggaan Kukar, tetapi juga milik seluruh masyarakat Kaltim bahkan Indonesia.
Bupati Aulia juga mengungkap rasa syukur karena Kutai Kartanegara kini tercatat memiliki indeks kebahagiaan tertinggi di Kalimantan Timur. Baginya, capaian ini adalah bukti bahwa nilai kebersamaan dan kearifan lokal masih hidup di tengah masyarakat.
“Erau bukan sekadar pesta rakyat, melainkan doa kolektif agar Kukar selalu damai dan makmur. Melalui tradisi ini kita perkuat jati diri di tengah arus globalisasi,” tuturnya.
Dengan penuh keyakinan, Aulia memastikan pemerintah daerah bersama Kesultanan Kutai akan menjaga keberlangsungan tradisi Erau sebagai warisan abadi.
“Insya Allah, Erau akan terus hadir setiap 21–29 September. Bukan hanya milik Kukar, tapi juga persembahan untuk bangsa,” ucapnya.
Ketika naga terakhir lenyap di balik arus Mahakam, masyarakat tahu, Erau tidak sekadar ditutup. Tradisi ini akan terus hidup dalam jiwa, doa, dan harapan orang Kutai.
Editor : Rizqa Leony Putri
Artikel Terkait