6 Kesultanan yang Ada di Kalimantan Timur, Nomor 3 Terbagi Dua
JAKARTA, iNews.id - Kesultanan yang ada di Kalimantan Timur akan menjadi pembahasan kali ini. Selain Kerajaan Kutai, ada beberapa kesulatanan yang perlu Anda ketahui.
Sebelum kedatangan Belanda terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur. Dilansir dari laman resmi Pemprv Kaltim disebutkan ada Kerajaan Kutai (beragama Hindu), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir dan Kesultanan Bulungan.
Kerajaan ini berdiri pada abad ke-4 (sekitar 300 masehi) di Muara Kaman. Ketika itu, Kutai Martadipura telah menjalin hubungan dengan India, sehingga tidak mengherankan jika Kutai Martadipura merupakan pusat penyebaran agama Hindu, selain juga merupakan pusat perdagangan.
Pendiri Kerajaan Kutai adalah Kundungga yang merupakan seorang pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja), sedangkan raja pertama yang resmi berkuasa di Kerajaan Kutai adalah Aswawarman karena sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai dan diberi gelar Wangsakarta, yang artinya pembentuk keluarga.
Aswawarman mempunyai 3 orang putra, salah satunya bernama Mulawarman. Ketika Maharaja Mulawarman berkuasa, Kerajaan Kutai Martadipura mengalam zaman kejayaan dan menjadi kerajaan yang besar.[3] Kebesaran Kerajaan Kutai terbukti dengan adanya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebagai berikut:
Setiap tahun raja mengadakan upacara sedekah yang dilakukan di Waprakeswara yakni sebidang tanah yang dianggap suci. Raja membagi-bagikan hadiah dengan seadil-adilnya kepada para brahmana berupa emas, tanah, dan ternak.
Sebaliknya, rakyat menyampaikan tanda terima kasih kepada raja dengan cara, mengadakan kenduri untuk keselamatan raja hingga mendirikan tugu prasasti yang berisi tulisan-tulisan tentang kebesaran raja.
Kesultanan yang Ada di Kalimantan Timur selanjutnya yakni Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Kerajaan ini kemudian menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama, yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau Kalimantan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama, yaitu salah satu daerah taklukan di Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Kesultanan ini sempat mengalami perpindahan ibu kota kerajaan sampai tiga kali, mulai dari Kutai Lama, Pemarangan hingga ke Tepian Pandan.
Kesultanan Berau merupakan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri.
Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
Kesultanan Gunung Tabur merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Pada periode yang hampir bersamaan, agama Islam mulai masuk ke Berau menyusul kedatangan seorang ulama bernama Imam Sambuayan yang menetap di sekitar Sukan (Desa Sukan). Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.
Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.
Sultan Sambaliung pertama yakni Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas.
Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan terkadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibu kota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).
Kesultanan yang Ada di Kalimantan Timur selanjutnya ada Kesultanan Bulungan atau Bulongan. Kesultanan ini pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).
Kesultanan ini didirikan oleh sekelompok Kayan Di dalam Uma 'Apan, dari daerah Apo Kayan, yang menetap di dekat pantai pada abad ke-7. Pada tahun 1650, seorang putri telah menikah dengan seorang pria dari Brunei.
Pernikahan ini mendirikan sebuah tradisi Hindu yang didirikan di daerah Tanjung Selor. Pada tahun 1750, dinasti ini masuk Islam. Penguasa mengambil gelar Sultan dan mengakui pengikut sultan Berau, kedua mengakui dirinya pengikut Kerajaan Kutai.
Pada tahun 1850, orang Belanda, yang menaklukkan Berau pada tahun 1834 dan dikenakan kedaulatan mereka untuk Kutai pada tahun 1848, yang ditandatangani dengan Sultan Bulungan Kontrak Politik. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, mereka mulai untuk campur tangan di wilayah ini.
Sampai tahun 1860, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk Sulu.
Pada 1881, Perusahaan Kalimantan Utara Chartered dibentuk, yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1880-an kolonial.
Editor: Nani Suherni